Keberhasilan keluarga
dalam menanamkan nilai-nilai kebajikan (karakter) pada anak sangat tergantung
pada jenis pola asuh yang diterapkan orang tua pada anaknya. Pola asuh dapat
didefinisikan sebagai pola interaksi antara anak dengan orangtua yang meliputi
pemenuhan kebutuhan fisik (seperti makan, minum dan lain-lain) dan kebutuhan
psikologis (seperti rasa aman, kasih sayang dan lain-lain), serta sosialisasi
norma-norma yang berlaku di masyarakat agar anak dapat hidup selaras dengan
lingkungannya. Dengan kata lain, pola asuh juga meliputi pola interaksi orang
tua dengan anak dalam rangka pendidikan karakter anak.
Secara umum, Baumrind
mengkategorikan pola asuh menjadi tiga jenis, yaitu : (1) Pola asuh
Authoritarian, (2) Pola asuh Authoritative, (3) Pola asuh permissive. Tiga
jenis pola asuh Baumrind ini hampir sama dengan jenis pola asuh menurut Hurlock
juga Hardy & Heyes yaitu: (1) Pola asuh otoriter, (2) Pola asuh demokratis,
dan (3) Pola asuh permisif.
Pola asuh otoriter
mempunyai ciri orangtua membuat semua keputusan, anak harus tunduk, patuh, dan
tidak boleh bertanya. Pola asuh demokratis mempunyai ciri orangtua mendorong
anak untuk membicarakan apa yang ia inginkan. Pola asuh permisif mempunyai ciri
orangtua memberikan kebebasan penuh pada anak untuk berbuat. Kita dapat
mengetahui pola asuh apa yang diterapkan oleh orang tua dari ciri-ciri
masing-masing pola asuh tersebut, yaitu sebagai berikut :
- Pola asuh otoriter mempunyai ciri : Kekuasaan orangtua domina; Anak tidak diakui sebagai pribadi; Kontrol terhadap tingkah laku anak sangat ketat; Orangtua menghukum anak jika anak tidak patuh.
- Pola asuh demokratis mempunyai ciri :Ada kerjasama antara orangtua – anak; Anak diakui sebagai pribadi; Ada bimbingan dan pengarahan dari orangtua; Ada kontrol dari orangtua yang tidak kaku.
- Pola asuh permisif mempunyai ciri : Dominasi pada anak; Sikap longgar atau kebebasan dari orangtua; Tidak ada bimbingan dan pengarahan dari orangtua; Kontrol dan perhatian orangtua sangat kurang.
Melalui pola asuh
yang dilakukan oleh orang tua, anak belajar tentang banyak hal, termasuk
karakter. Tentu saja pola asuh otoriter (yang cenderung menuntut anak untuk
patuh terhadap segala keputusan orang tua) dan pola asuh permisif (yang
cenderung memberikan kebebasan penuh pada anak untuk berbuat) sangat berbeda
dampaknya dengan pola asuh demokratis (yang cenderung mendorong anak untuk
terbuka, namun bertanggung jawab dan mandiri) terhadap hasil pendidikan
karakter anak. Artinya, jenis pola asuh yang diterapkan oleh orang tua terhadap
anaknya menentukan keberhasilan pendidikan karakter anak oleh keluarga.
Pola asuh otoriter
cenderung membatasi perilaku kasih sayang, sentuhan, dan kelekatan emosi
orangtua - anak sehingga antara orang tua dan anak seakan memiliki dinding
pembatas yang memisahkan “si otoriter” (orang tua) dengan “si patuh” (anak).
Studi yang dilakukan oleh Fagan (dalam Badingah, 1993) menunjukan bahwa ada
keterkaitan antara faktor keluarga dan tingkat kenakalan keluarga, di mana
keluarga yang broken home, kurangnya kebersamaan dan interaksi antar keluarga,
dan orang tua yang otoriter cenderung menghasilkan remaja yang bermasalah. Pada
akhirnya, hal ini akan berpengaruh terhadap kualitas karakter anak.
Pola asuh permisif
yang cenderung memberi kebebesan terhadap anak untuk berbuat apa saja sangat
tidak kondusif bagi pembentukan karakter anak. Bagaimana pun anak tetap
memerlukan arahan dari orang tua untuk mengenal mana yang baik mana yang salah.
Dengan memberi kebebasan yang berlebihan, apalagi terkesan membiarkan, akan
membuat anak bingung dan berpotensi salah arah.
Pola asuh demokratis
tampaknya lebih kondusif dalam pendidikan karakter anak. Hal ini dapat dilihat
dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Baumrind yang menunjukkan bahwa
orangtua yang demokratis lebih mendukung perkembangan anak terutama dalam
kemandirian dan tanggungjawab. Sementara, orangtua yang otoriter merugikan,
karena anak tidak mandiri, kurang tanggungjawab serta agresif, sedangkan
orangtua yang permisif mengakibatkan anak kurang mampu dalam menyesuaikan diri
di luar rumah. Menurut Arkoff (dalam Badingah, 1993), anak yang dididik dengan
cara demokratis umumnya cenderung mengungkapkan agresivitasnya dalam
tindakan-tindakan yang konstruktif atau dalam bentuk kebencian yang sifatnya
sementara saja. Di sisi lain, anak yang dididik secara otoriter atau ditolak
memiliki kecenderungan untuk mengungkapkan agresivitasnya dalam bentuk
tindakan-tindakan merugikan. Sementara itu, anak yang dididik secara permisif
cenderung mengembangkan tingkah laku agresif secara terbuka atau
terang-terangan.
Menurut Middlebrook
(dalam Badingah, 1993), hukuman fisik yang umum diterapkan dalam pola asuh
otoriter kurang efektif untuk membentuk tingkah laku anak karena : (a)
menyebabkan marah dan frustasi (dan ini tidak cocok untuk belajar); (b) adanya
perasaan-perasaan menyakitkan yang mendorong tingkah laku agresif; (c)
akibat-akibat hukuman itu dapat meluas sasarannya, misalnya anak menahan diri
untuk memukul atau merusak pada waktu ada orangtua tetapi segera melakukan
setelah orangtua tidak ada; (d) tingkah laku agresif orangtua menjadi model
bagi anak.
Hasil penelitian
Rohner (dalam Megawangi, 2003) menunjukkan bahwa pengalaman masa kecil
seseorang sangat mempengaruhi perkembangan kepribadiannya (karakter atau
kecerdasan emosinya). Penelitian tersebut - yang menggunakan teori PAR
(Parental Acceptance-Rejection Theory)- menunjukkan bahwa pola asuh orang tua,
baik yang menerima (acceptance) atau yang menolak (rejection) anaknya, akan
mempengaruhi perkembangan emosi, perilaku, sosial-kognitif, dan kesehatan
fungsi psikologisnya ketika dewasa kelak.
Dalam hal ini, yang
dimaksud dengan anak yang diterima adalah anak yang diberikan kasih sayang,
baik secara verbal (diberikan kata-kata cinta dan kasih sayang, kata-kata yang
membesarkan hati, dorongan, dan pujian), maupun secara fisik (diberi ciuman,
elusan di kepala, pelukan, dan kontak mata yang mesra). Sementara, anak yang
ditolak adalah anak yang mendapat perilaku agresif orang tua, baik secara
verbal (kata-kata kasar, sindiran negatif, bentakan, dan kata-kata lainnya yang
dapat mengecilkan hati), ataupun secara fisik (memukul, mencubit, atau
menampar). Sifat penolakan orang tua dapat juga bersifat indifeerence atau
neglect, yaitu sifat yang tidak mepedulikan kebutuhan anak baik fisik maupun
batin, atau bersifat undifferentiated rejection, yaitu sifat penolakan yang
tidak terlalu tegas terlihat, tetapi anak merasa tidak dicintai dan diterima
oleh orang tua, walaupun orang tua tidak merasa demikian.
Hasil penelitian
Rohner menunjukkan bahwa pola asuh orang tua yang menerima membuat anak merasa
disayang, dilindungi, dianggap berharga, dan diberi dukungan oleh orang tuanya.
Pola asuh ini sangat kondusif mendukung pembentukan kepribadian yang
pro-sosial, percaya diri, dan mandiri namun sangat peduli dengan lingkungannya.
Sementara itu, pola asuh yang menolak dapat membuat anak merasa tidak diterima,
tidak disayang, dikecilkan, bahkan dibenci oleh orang tuanya. Anak-anak yang
mengalami penolakan dari orang tuanya akan menjadi pribadi yang tidak mandiri,
atau kelihatan mandiri tetapi tidak mempedulikan orang lain. Selain itu anak
ini akan cepat tersinggung, dan berpandangan negatif terhadap orang lain dan
terhadap kehidupannya, bersikap sangat agresif kepada orang lain, atau merasa
minder dan tidak merasa dirinya berharga.
Dari paparan di atas
jelas bahwa jenis pola asuh yang diterapkan orang tua kepada anaknya sangat
menentukan keberhasilan pendidikan karakter anak. Kesalahan dalam pengasuhan
anak akan berakibat pada kegagalan dalam pembentukan karakter yang baik.
Menurut Megawangi
(2003) ada beberapa kesalahan orang tua dalam mendidik anak yang dapat
mempengaruhi perkembangan kecerdasan emosi anak sehingga berakibat pada
pembentukan karakternya, yaitu :
- Kurang menunjukkan ekspresi kasih sayang baik secara verbal maupun fisik.
- Kurang meluangkan waktu yang cukup untuk anaknya.
- Bersikap kasar secara verbal, misainya menyindir, mengecilkan anak, dan berkata-kata kasar.
- Bersikap kasar secara fisik, misalnya memukul, mencubit, dan memberikan hukuman badan lainnya.
- Terlalu memaksa anak untuk menguasai kemampuan kognitif secara dini.
- Tidak menanamkan "good character' kepada anak.
Dampak yang
ditimbulkan dari salah asuh seperti di atas, menurut Megawangi akan
menghasilkan anak-anak yang mempunyai kepribadian bermasalah atau mempunyai
kecerdasan emosi rendah.
- Anak menjadi acuh tak acuh, tidak butuh orang lain, dan tidak dapat menerima persahabatan. Karena sejak kecil mengalami kemarahan, rasa tidak percaya, dan gangguan emosi negatif lainnya. Ketika dewasa ia akan menolak dukungan, simpati, cinta dan respons positif lainnya dari orang di sekitarnya. la kelihatan sangat mandiri, tetapi tidak hangat dan tidak disenangi oleh orang lain.
- Secara emosiol tidak responsif, dimana anak yang ditolak akan tidak mampu memberikan cinta kepada orang lain.
- Berperilaku agresif, yaitu selalu ingin menyakiti orang baik secara verbal maupun fisik.
- Menjadi minder, merasa diri tidak berharga dan berguna.
- Selalu berpandangan negatif pada lingkungan sekitarnya, seperti rasa tidak aman, khawatir, minder, curiga dengan orang lain, dan merasa orang lain sedang mengkritiknya.
- Ketidakstabilan emosional, yaitu tidak toleran atau tidak tahan terhadap stress, mudah tersinggung, mudah marah, dan sifat yang tidak dapat dipreaiksi oleh orang lain.
- Keseimbangan antara perkembangan emosional dan intelektual. Dampak negatif lainnya dapat berupa mogok belajar, dan bahkan dapat memicu kenakalan remaja, tawuran, dan lainnya.
- Orang tua yang tidak memberikan rasa aman dan terlalu menekan anak, akan membuat anak merasa tidak dekat, dan tidak menjadikan orang tuannya sebagai ”role model” Anak akan lebih percaya kepada "peer group"nya sehingga mudah terpengaruh dengan pergaulan negatif.
Posting Komentar